Banjir Sumatra 2025: Ketika Izin Legal dan Deforestasi Membuka Pintu Bencana

Dwi


Tangerangtalk - Rentetan banjir bandang dan tanah longsor yang menyapu Sumatra sejak akhir November 2025 bukan sekadar peristiwa alam biasa. Lebih dari 836 nyawa melayang dan lebih dari satu juta jiwa terpaksa mengungsi, membuka pil pahit yang harus ditelan akibat akumulasi kerusakan ekologis puluhan tahun. Kerugian material diperkirakan mencapai Rp 68,67 triliun, sebuah angka fantastis yang menggambarkan skala kehancuran. 

Hujan deras yang dipicu oleh Siklon Tropis Senyar. Fenomena langka yang terbentuk di dekat khatulistiwa memang menjadi pemicu langsung. Namun, bencana kemanusiaan dengan korban sebanyak ini tidak bisa dilepaskan dari lanyapnya hutan yang telah terkikis habis, dibuka oleh izin-izin usaha dan pembiaran terhadap deforestasi. Data satelit menunjukkan, pulau sumatra dalam dua dekade terkahir ini dari tahun 2001-2024, kehilangan sekitar 4,4 juta hektare tutupan hutan. Di provinsi-provinsi yang paling parah terdampak banjir, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, catatan Walhi memperlihatkan bahwa dalam kurun 2016–2025 saja, 1,4 juta hektare hutan telah dibersihkan untuk memberi jalan bagi perkebunan, pertambangan, dan proyek energi, tiga provinsi terdampak diantaranya Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) telah hilang. Kasus paling mencolok adalah di DAS Batang Toru, wilayah ekosistem kritis di Sumatera Utara. Menurut laporan WALHI, sejak 2016 hingga 2024 DAS Batang Toru telah kehilangan puluhan ribu hektare hutan alam akibat aktivitas industri dan izin ekstraktif.

Menurut data dari Greenpeace Indonesia, tutupan hutan alam di Pulau Sumatra terus terkikis saat ini luas hutan alam hanya tersisa sekitar 11,6 juta hektare, jauh dari kondisi aslinya, mengindikasikan bahwa lebih dari 75 persennya telah hilang sejak era 1990-an.
Para ahli ekologi sering mengibaratkan hutan yang sehat sebagai "spons raksasa" alam. Hutan menyerap air hujan, menjaga kestabilan tanah, dan memperlambat aliran permukaan. Namun, ketika "spons" ini hilang, fungsi vital itu punah. Di lokasi bencana, warga melaporkan timbunan kayu gelondongan besar terbawa arus banjir bukti nyata bahwa fungsi penahan erosi telah rusak parah. Air hujan dari Siklon Senyar yang seharusnya diserap, justru langsung meluncur deras, menggerus tanah, dan menghanyutkan segala yang dilintasinya ke permukiman penduduk. Pada akhirnya bencana ini memunculkan sebuah pertanyaan yang kini menggantung: sejauh mana bencana ini adalah "takdir" cuaca ekstrem, dan sejauh mana ia adalah "buatan" manusia? Para pakar lingkungan sepakat, Siklon Senyar hanyalah pemicu (trigger), sementara kerentanan ekosistem akibat deforestasi adalah akar masalah yang memperparah dampaknya secara signifikan. Izin-izin operasi bagi tambang dan perkebunan di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan lereng curam secara sistematis telah mengurangi daya dukung lingkungan, menyiapkan panggung bagi tragedi ketika cuaca ekstrem datang.

 

Di tengah bencana ini, pernyataan pemerintah pusat menjadi sorotan. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa APBN cukup untuk menangani bencana dan pemerintah telah menyiapkan Dana Siap Pakai untuk kebutuhan darurat. “Cukup. Jadi kan di dalam APBN itu ada yang namanya Dana Siap Pakai yang memang diperuntukkan untuk kesiapsiagaan kebencanaan,” kata Prasetyo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Pernyataan ini muncul saat sejumlah pemerintah daerah di Sumut, Sumbar, dan Aceh masih mengandalkan APBD untuk penanganan cepat, mulai dari evakuasi warga, penyediaan logistik, hingga perbaikan akses transportasi yang terputus. Bantuan pusat disebut belum sepenuhnya mengalir, meski proses koordinasi telah dilakukan sejak awal bencana. Beberapa kepala daerah mengakui bahwa proses pencairan bantuan pusat memerlukan waktu, sementara kondisi di lapangan membutuhkan tindakan segera. Karena itu, anggaran daerah menjadi tumpuan awal untuk merespons situasi kritis.

Pascabencana, muncul dua respons yang bertolak belakang. Di satu sisi, sejumlah perusahaan besar yang beroperasi di wilayah terdampak seperti pertambangan dan proyek PLTA dengan cepat mengklarifikasi bahwa operasi mereka "memiliki izin lengkap dan telah melakukan pemantauan lingkungan".  Di sisi lain, pemerintah mulai bergerak. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) menyatakan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hutan telah turun ke lapangan untuk menelusuri asal-usul kayu gelondongan yang terbawa banjir, dan akan menganalisis citra satelit untuk mengidentifikasi pelaku. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan menyebut bencana ini sebagai "momentum yang baik untuk mengevaluasi kebijakan", sementara Presiden dilaporkan telah menerima briefing khusus mengenai dugaan pembalakan liar di kawasan bencana.

Landasan hukum untuk bertindak sebenarnya sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mewajibkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat sebelum izin diberikan. UU tersebut juga memberi kewenangan penuh pada pemerintah untuk melakukan pengawasan, mencabut izin, dan menjatuhkan sanksi administrasi maupun pidana jika terjadi pelanggaran. Persoalannya, di lapangan, kewenangan ini sering kali tumpul oleh kompleksitas birokrasi, desakan investasi, dan pengawasan yang lemah.

Menyatukan semua fakta dari data hilangnya hutan, respons korporasi, hingga korban jiwa—kita melihat sebuah pola yang menyedihkan. Bencana di Sumatra 2025 adalah prototipe "bencana terstruktur". Dalam bencana jenis ini, kerusakan lingkungan yang sistematis, yang sering kali dilegalkan oleh izin atau dibiarkan terjadi secara ilegal, bertemu dengan fenomena cuaca ekstrem. Hasilnya bukan sekadar banjir, melainkan tragedi kemanusiaan berskala besar. Legalitas di atas kertas tidak sama dengan keberlanjutan ekologis. Sebuah izin tambang mungkin memenuhi semua persyaratan administratif, tetapi jika izin itu diberikan di kawasan resapan air kritis, maka legalitas tersebut justru menjadi "jalan tol menuju bencana” yang sah di mata hukum. Persoalannya, di lapangan, kewenangan UU sering kali tumpul oleh kompleksitas birokrasi, desakan investasi, dan pengawasan yang lemah. Izin-izin operasi di kawasan hulu DAS dan lereng curam telah secara sistematis mengurangi daya dukung lingkungan, menyiapkan panggung bagi tragedi saat cuaca ekstrem datang.

Semua orang bisa memikul beras atau mengaduk semen; tapi tidak semua orang bisa menerbitkan izin pembabatan hutan.” Sebuah kritik pedas yang menyoroti bagaimana proses perizinan sering dianggap lebih mudah dan cepat ketimbang memastikan keselamatan ekologis jutaan warga.

Banjir Sumatra 2025 harus menjadi titik balik fundamental. Ketika izin usaha dan ekspansi ekonomi ditempatkan di atas kalkulasi risiko ekologis, rakyat kecil di hilir dan alam sendirilah yang menjadi "bank" yang membayar "hutang" kerusakan dengan nyawa dan kehancuran. Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan tegas: melanjutkan bisnis seperti biasa, atau mengambil langkah berani. Langkah itu harus dimulai dengan transparansi total seluruh data perizinan dan audit lingkungan untuk diawasi publik, dilanjutkan evaluasi tanpa pandang bulu terhadap izin di hulu DAS dan lereng curam—dengan kesiapan mencabut izin yang merusak. Yang terpenting, restorasi ekosistem skala besar di daerah hulu harus menjadi prioritas anggaran.

Jalan ke depan membutuhkan keberanian politik yang terukur. Prioritas segera adalah pemulihan dan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi. Tahap menengah harus diisi audit transparan semua izin di kawasan rawan bencana serta investigasi tuntas temuan kayu gelondongan. Untuk jangka panjang, tidak ada pilihan selain moratorium dan evaluasi ulang izin di ekosistem kritis, disertai komitmen nyata pada rehabilitasi hutan. Bencana ini adalah panggilan keras bahwa legalitas administratif bukanlah jaminan keberlanjutan ekologis. Tanpa pembenahan tata kelola sumber daya alam yang bobrok, bencana serupa hanya menunggu pemicu cuaca ekstrem berikutnya. Rakyat telah terlalu sering membayar mahal kesalahan kebijakan; kini saatnya pemerintah membayarnya dengan tindakan nyata, transparansi data, dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Jika tidak, kita hanya sedang menunda jadwal bencana berikutnya yang mungkin lebih dahsyat. Banjir Sumatra 2025 adalah lebih dari sekadar peringatan, ini adalah panggilan pilu untuk keadilan ekologis, di mana hukum harus berpihak pada kelestarian alam dan keselamatan rakyat, bukan sekadar pada legalitas dokumen yang mengatasnamakan investasi.

 

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url