Mengapa Anak HMI Harus Menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
![]() |
| Sinta Eka Marlina |
Sebuah ironi baru lahir di Istana Negara. Pada Senin (10/11), Presiden Prabowo Subianto resmi menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Dalam upacara itu sejumlah foto para tokoh terpajang di ruang tengah Istana, termasuk wajah jenderal yang selama tiga dekade lebih menjadi simbol kekuasaan otoriter di negeri ini.
Namun bagi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), keputusan ini seharusnya menimbulkan kegelisahan. Sebab, bagaimana mungkin seorang penguasa yang pernah menindas gerakan mahasiswa, membungkam kebebasan berpikir, dan menorehkan luka kemanusiaan begitu dalam, kini disebut pahlawan nasional?
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa kader-kader HMI terutama HMI MPO harus menolak keras penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Pertama, sejarah mencatat bahwa pecahnya HMI menjadi dua kubu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial politik Orde Baru. Saat itu, rezim Soeharto memaksakan asas tunggal Pancasila kepada seluruh organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Di permukaan, kebijakan ini seolah demi persatuan bangsa. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, tujuannya justru untuk melemahkan gerakan mahasiswa agar tetap berada di bawah kendali rezim. Peristiwa ini adalah luka sejarah ditubuh HMI yang di cabik langsung oleh pedang kekuasaan orde baru.
Kedua, keterlibatan Soeharto dalam berbagai tragedi kemanusiaan, seperti tragedi 1965 hingga penindasan terhadap sejumlah aktivis dan masyarakat sipil di berbagai daerah. Sejarawan Geoffrey Robinson mencatat bahwa “pembunuhan massal 1965–1966 tidak terjadi secara spontan, tetapi merupakan hasil mobilisasi militer yang terkoordinasi dan melibatkan struktur komando di bawah Soeharto".
Tragedi-tragedi ini adalah upaya rezim orde baru melakukan pembungkaman agar kekuasaannya tidak terusik. Pasca pembersihan terhadap kelompok kiri, rezim orde baru juga menindas gerakan mahasiswa, termasuk HMI dengan disiplin asas tunggal. HMI MPO yang menolak tunduk terhadap pembungkaman dan ketidakadilan saat itu terancam di bubarkan. Karena itu, sangat tidak masuk akal jika hari ini kader HMI diam saja ketika pelaku pembungkaman tersebut justru dijadikan pahlawan. Selain itu menyetujui Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan menghapus jejak penderitaan para aktivis HMI yang dulu berjuang melawan otoritarianismenya.
Ketiga Saat berkuasa, Soeharto membangun sistem politik yang berpusat pada loyalitas pribadi, bukan meritokrasi. Warisan ini secara langsung menyingkirkan generasi muda yang berkompetensi dan meminggirkan mereka yang tidak berada dalam lingkaran kekuasaan. TAP MPR No. XI/1998 secara tegas menyebut KKN di era Orde Baru sebagai penyebab utama kemerosotan moral dan ekonomi bangsa. Pasal 4 menyatakan:
"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia”
Meski pada 2024 nama Soeharto dihapus dengan alasan telah meninggal. Miris, seharusnya kematiannya tidak lantas menghapus dosa-dosanya terhadap rakyat Indonesia. Memaafkan bukan berarti lantas membalik keadaan, menjadikan pelaku kejahatan sebagai pahlawan.
Menerima Soeharto sebagai pahlawan berarti menormalisasi sistem yang menyingkirkan meritokrasi, dan mengkhianati prinsip kepemimpinan sebagai amanah yang dituntut berlaku adil. Dengan kata lain, bagi HMI, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan sekadar masalah sejarah, tapi serangan terhadap nilai ideologis organisasi (Khitta Perjuangan).
HMI-MPO, yang sejak awal menolak tunduk pada rezim Orde Baru, menjadi saksi sejarah perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Tidak sedikit kadernya yang di kriminalisasi, karena mempertahankan idealisme kemahasiswaan dibawah naungan asas Islam.
Maka, pertanyaannya, sudahkah kita lupa pada sejarah paling kontras dalam tubuh HMI sendiri, sejarah perlawanan terhadap rezim Soeharto?
Sumber
Eickhoff, M., van Klinken, G., & Robinson, G. (Eds.). (2019). 1965 pada masa kini: Hidup dengan warisan peristiwa pembantaian massal. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Kompas. (2024, September 29). Nama Soeharto disebut sebagai simbol praktik nepotisme yang harus diberantas. Jakarta: Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2024/09/29/10462671/soeharto-citra-nepotisme-dan-ketetapan-mpr-11-1998
