Mendesak! Krisis Kepercayaan Publik dan Panggilan Konstitusi untuk Reformasi Polri

Mendesak! Krisis Kepercayaan Publik dan Panggilan Konstitusi untuk Reformasi Polri
Adinda Saharani


Tangerangtalk — Gelombang demonstrasi besar yang baru-baru ini melanda menjadi penanda serius. Di tengah lautan massa dan spanduk tuntutan, ada satu pesan inti yang tak bisa lagi diabaikan: krisis kepercayaan atau distrust publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mencapai titik nadir.

Ini bukan lagi sekadar kritik biasa. Eskalasi kekerasan, tuduhan kriminalisasi, dan brutalitas aparat yang terekam jelas di lapangan telah melukai rasa keadilan masyarakat. Situasi ini memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan hukum yang fundamental: sejauh mana landasan hukum di negara ini tidak hanya mengizinkan, tetapi justru memaksa pembentukan sebuah tim reformasi kepolisian yang independen, transparan, dan akuntabel?

Cita-cita Konstitusi vs. Realita di Lapangan

Idealnya, kerangka hukum kita sudah menyediakan fondasi yang kokoh. Namun, jurang antara teks hukum (das sollen) dan kenyataan (das sein) kini terlalu lebar untuk diabaikan.

UUD NRI 1945, Pasal 30 ayat (4) menjadi sumber legitimasi tertinggi, yang mengamanatkan Polri untuk "melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum." Ini bukanlah slogan, melainkan mandat konstitusional. Kegagalan dalam menjalankannya dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri.

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian secara tegas menempatkan Polri dalam bingkai civilian police (polisi sipil) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Ini adalah antitesis dari kultur militeristik yang represif. Loyalitas Polri harus tegak lurus pada Konstitusi dan kepentingan rakyat, bukan pada kelompok atau rezim tertentu.

UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga mengikat Polri pada asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik, seperti transparansi dan akuntabilitas.

Mengapa Reformasi Total Menjadi Sebuah Keharusan?

Demonstrasi besar-besaran yang terjadi dapat dibaca sebagai "mosi tidak percaya" dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Ketika institusi negara gagal menjalankan mandatnya, rakyat berhak menuntut pertanggungjawaban. Ada beberapa alasan mengapa tuntutan ini harus segera dijawab dengan langkah konkret:

Menyelamatkan Marwah Negara Hukum: Negara hukum (rechtstaat) tidak bisa tegak di atas institusi penegak hukum yang rapuh dan tidak dipercaya. Krisis ini secara langsung menggerus kewibawaan hukum dan membuat prinsip equality before the law (kesetaraan di hadapan hukum) terasa seperti ilusi.

Kegagalan Mekanisme Internal: Mekanisme pengawasan internal seperti Propam dan Itwasum terbukti belum efektif mengatasi masalah sistemik. Kultur "melindungi korps" (esprit de corps yang keliru) dan resistensi internal membuat banyak kasus tidak terselesaikan secara transparan. Oleh karena itu, diperlukan terobosan melalui mekanisme extraordinary yang melibatkan pihak eksternal.

Reformasi Bukan Sekadar Kosmetik: Pembentukan tim reformasi tidak boleh hanya menjadi "gimmick" politik untuk meredam amarah publik sesaat. Reformasi harus menyentuh akar masalah:

Struktural: Mengevaluasi kewenangan Polri yang dinilai terlalu besar tanpa mekanisme checks and balances yang memadai.

Kultural: Mengubah total mindset dari kultur kekerasan menjadi kultur melayani, dimulai dari sistem rekrutmen hingga pendidikan.

Instrumental: Memperbaiki regulasi internal, penggunaan teknologi akuntabel seperti body camera, dan transparansi anggaran.

Secara yuridis-konstitusional, pembentukan tim reformasi kepolisian adalah sebuah keharusan. Ini bukan lagi soal kemauan politik (political will), melainkan kewajiban negara untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegakkan supremasi hukum. Mengabaikan desakan ini sama saja membiarkan negara berjalan menuju krisis legitimasi yang lebih dalam.

Agar efektif, tim reformasi yang akan dibentuk wajib memenuhi kriteria berikut:

Independen dan Partisipatif: Keanggotaannya harus melibatkan unsur eksternal yang kredibel, seperti perwakilan Komnas HAM, akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil.

Memiliki Kewenangan Kuat: Tim ini harus diberi mandat yang jelas dan kewenangan kuat oleh Presiden untuk melakukan evaluasi, penyelidikan, dan memberikan rekomendasi yang mengikat.

Bekerja secara Transparan: Seluruh proses dan hasil kerja tim harus dibuka kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas.

Hanya dengan cara ini, kita bisa berharap untuk menyembuhkan luka dan membangun kembali institusi Polri yang benar-benar menjadi milik rakyat.


Sumber Referensi 

https://birokratmenulis.org/urgensi-kepolisian-dibawah-kementerian-dalam-negeri/

https://icjr.or.id/kepada-presiden-dan-dpr-ri-agenda-reformasi-polri-harus-segera-dituntaskan/

https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/agenda-reformasi-polri-di-era-presiden-prabowo

https://dataindonesia.id/varia/detail/survei-lsi-kepercayaan-publik-kepada-polri-anjlok-menjadi-53

https://identitasunhas.com/krisis-kepercayaan-publik-kepolisian-perlu-pembenahan/

https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/lubang-hitam-pelanggaran-ham-kekerasan-polisi-terhadap-unjuk-rasa-peringatandarurat/12/2024/

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250829105047-12-1267733/kontras-catat-55-kekerasan-polisi-saat-amankan-demo-5-bulan-terakhir

Sejarah Polri: Masa Reformasi (terkait UU No. 2 Tahun 2002)(https://museumpolri.org/sejarah/posting/8/masa-reformasi)


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url