Rollback Tunjangan DPR: Kemenangan Rakyat atau Ilusi Politik?
![]() |
Oleh: Syifa Fadilah |
Gelombang protes yang membakar jalanan dan menelan korban jiwa akhirnya memaksa Presiden mencabut sebagian tunjangan DPR. Publik menyambutnya sebagai kemenangan. Namun, kemenangan ini lebih mirip plester di atas luka demokrasi yang bernanah. Perlu kita pastikan kembali apakah benar masalah selesai? Atau justru kita sedang membuka babak baru dari keruwetan konstitusi?
Secara hukum, tunjangan DPR memang punya dasar seperti Undang-Undang MD3 dan peraturan pemerintah. Tetapi “sah secara hukum” tidak sama dengan “adil secara moral.” Pasal 23 UUD 1945 menegaskan APBN untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memanjakan segelintir elit. Di sinilah letak kemunafikan, di mana aturan dipakai sebagai tameng, padahal hati nurani publik menolak keras.
Hak rakyat untuk turun ke jalan dilindungi UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998. Tetapi, mengapa protes yang sah justru dibalas dengan peluru dan gas air mata? Negara seakan lupa bahwa demokrasi berarti memberi ruang bagi suara rakyat, bukan mengorbankan nyawa mereka demi menjaga kursi empuk politisi.
Keputusan Presiden membatalkan fasilitas DPR pun patut dicurigai. Dari sisi fiskal, ia berwenang. Namun, tunjangan DPR bukan sekadar anggaran; ia melekat pada undang-undang. Jika Presiden mencabutnya hanya lewat keputusan politik, bukankah itu bentuk intervensi eksekutif terhadap legislatif? Bukankah ini ancaman terhadap prinsip pemisahan kekuasaan yang kita agung-agungkan sejak Reformasi?
Kebenaran yang ironi, ini bukan kemenangan rakyat, tapi kompromi darurat. Masalah sesungguhnya ada pada DPR yang mengatur dirinya sendiri tanpa mekanisme pengawasan independen. Selama itu tidak diubah, rakyat akan terus membayar mahal ongkos demokrasi yang semakin kehilangan ruhnya.
Rollback tunjangan DPR memang meredakan gejolak sesaat. Tapi tanpa reformasi sistemik, luka demokrasi ini akan terus menganga. Rakyat butuh lebih dari sekadar pencabutan tunjangan. Rakyat butuh keadilan, transparansi, dan negara yang tidak lagi memperdagangkan legitimasi demi meredam amarah.
Kita butuh operasi besar, yakni transparansi total, pengawasan publik, dan lembaga independen yang berani memotong privilese pejabat. Tanpa itu, demokrasi kita akan terus berdarah-darah dan rakyatlah yang menanggung lukanya.
Fiat justitia ruat caelum, tegakkan keadilan sekalipun langit akan runtuh.