Alarm Demokrasi Berbunyi, Gerakan 17+8 Tuntut Pemerintah Segera Tanggap

 

Oleh : Risma Rachmawati


Gelombang perlawanan masyarakat kian bergema di seluruh penjuru Nusantara, terutama melalui media sosial yang menjadi ruang ekspresi dan konsolidasi publik. Tanggal 5 September 2025 ditetapkan sebagai tenggat waktu bagi pemerintah untuk memberikan respons konkret sekaligus memenuhi 17 tuntutan rakyat yang telah disuarakan, serta melaksanakan 8 tuntutan reformasi dengan jangka waktu penyelesaian hingga 31 Agustus 2026. Tuntutan tersebut dihimpun dalam satu seruan bertajuk “17+8 Tuntutan Rakyat: Transparansi, Reformasi, Empati”. Angka 17+8 bukan sekadar simbol, melainkan representasi langsung dari hari kemerdekaan Indonesia yakni tanggal 17 Agustus yang dimaknai sebagai pengingat bahwa kemerdekaan sejati harus terus diperjuangkan, bukan hanya diperingati.

Di balik gagasan “17+8 Tuntutan Rakyat” tersimpan simbol solidaritas yang diwujudkan dalam dua warna: Brave Pink dan Hero Green. Brave Pink merepresentasikan keberanian perempuan, buruh, mahasiswa, serta suara-suara yang selama ini sering terpinggirkan. Warna ini menegaskan sikap untuk tidak tunduk pada kekerasan negara dan menjadi lambang keberanian untuk terus bersuara melawan ketidakadilan.

Sementara itu, Hero Green mencerminkan keteguhan rakyat. Hijau yang heroik menjadi simbol kehidupan yang tetap tumbuh meski berkali-kali ditekan dan dihadapkan pada berbagai bentuk represi. Keduanya, Brave Pink dan Hero Green, berpadu sebagai wajah baru perlawanan rakyat: berani, penuh harapan, dan berakar pada semangat solidaritas kolektif.

Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat lahir sebagai akumulasi dari kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Puncak ketidakpuasan itu tampak jelas dalam rencana kenaikan tunjangan anggota DPR yang justru diajukan di tengah situasi ekonomi rakyat yang kian terhimpit.

Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Komisariat Untirta, Risma Rachmawati, menegaskan bahwa gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” merupakan sebuah alarm demokrasi yang semestinya menggugah kesadaran terhadap pemerintah, DPR, partai politik, aparat keamanan, dan kementerian terkait. Menurutnya, dalam konteks negara hukum, setiap kebijakan publik idealnya tidak hanya lahir dari kewenangan formal semata, tetapi juga harus berlandaskan pada prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

“Tanpa berpegang pada ketiga prinsip tersebut, kebijakan yang dihasilkan justru berisiko menjauh dari aspirasi rakyat dan berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi negara,” ujar Risma.

Menurut Dr. Dodi Jaya Wardana, S.H., M.H., ahli hukum administrasi negara, Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” ini bertumpu pada tiga pilar fundamental: transparansi, reformasi, dan empati. Ketiga pilar tersebut seharusnya menjadi fondasi utama dalam setiap proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Namun, absennya implementasi yang konsisten terhadap prinsip-prinsip tersebut memperlihatkan adanya jurang antara kebutuhan rakyat dengan arah kebijakan negara.

Alih-alih memperlihatkan komitmen nyata terhadap aspirasi publik, pemerintah justru tampak lebih berfokus pada pencitraan stabilitas politik dibandingkan mengakui adanya krisis kepercayaan yang kian mendalam. Sikap yang tidak tegas dan cenderung ambigu tersebut pada akhirnya hanya memperkuat persepsi bahwa hukum maupun kebijakan negara tidak lahir dari kebutuhan rakyat, melainkan lebih dipengaruhi oleh kompromi politik serta kepentingan ekonomi kalangan elit.

Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” bukan sekadar deretan angka yang dapat dipertimbangkan atau diabaikan, melainkan sebuah keharusan bagi pemerintah untuk segera mewujudkan aksi nyata dalam memenuhi aspirasi yang telah disuarakan masyarakat. “Perubahan tidak lahir dari sikap diam, tetapi dari keberanian kolektif untuk menyuarakan kebenaran,” ujar Risma.

Fiat justitia ruat caelum, keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url