GAJI GURU HONORER VS TUNJANGAN DPR KETIKA KEADILAN SOSIAL HANYA WACANA SEMATA


Oleh: Gledi Widia Enjelika Simarmata

Indonesia bukan Negara Muda lagi setelah lebih dari 80 tahun Merdeka dalam hal pendidikan kita belum benar-benar bebas dari belenggu ketertinggalan, hasil survey skor Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh.

Bidang

Skor Indonesia

Rata-rata OECD

Peringkat Global

Membaca

356

~487

71 dari 81

Matematika

366

~489

70 dari 81

Sains

366

~491

67 dari 81

Berdasarkan data di atas menunjukkan kualitas Pendidikan di Indonesia masih mengalami stagnasi yang mengkhawatirkan, stagnasi ini bukan sekedar angka, melainkan cerminan dari berbagai masalah mendasar yang belum terselesaikan, sistem Pendidikan kita masih terlalu fokus pada penguasaan konten dan nilai ujian, sementara keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas belum menjadi priorotas utama. Kurikulum yang belum sepenuhnya adaptif, pelatihan guru yang tidak merata, serta ketimpangan akses Pendidikan di daerah tertinggal memperparah kondisi ini.

Dalam sistem Pendidikan kurikulum hanyalah dokumen dan kebijakan hanyalah arah, namun yang menjadikan nya hidup adalah guru, mereka menerjemahkan teori menjadi praktik, nilai menjadi Tindakan, dan visi menjadi pengalaman belajar yang bermakna tanpa keterlibatan aktif dan pemahaman mendalam dari para guru, kebijakan Pendidikan yang paling visioner sekalipun akan gagal menyentuh realitas siswa di lapangan. istilah “guru baik lebih penting daripada kurikulum” maka guru sebagai bagian penting dari pilar Pendidikan

Jika ingin pendidikan Indonesia bergerak maju, maka penguatan peran guru sebagai eksekutor harus dibarengi dengan pemberdayaan. Guru perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan kebijakan, diberikan pelatihan yang relevan, dan didukung dengan ekosistem kerja yang sehat. Mereka bukan hanya pelaksana, tetapi juga pemikir, inovator, dan penjaga masa depan bangsa. Namun kesejahteraan guru di Indonesia masih jauh dari ideal. Gaji yang belum layak, tunjangan yang terbatas, beban kerja yang berat, dan minimnya fasilitas kerja membuat profesi guru sering kali dipandang sebelah mata padahal mereka memikul tanggungjawab yang sangat besar.

Bandingkan dengan negara Finlandia Dimana guru mendapatkan gaji kompetitif, beban kerja yang seimbang, dan otonomi tinggi dalam mengajar, bahkan disana menjadi seorang guru Adalah profesi bergengsi dan hanya bisa diakses oleh mereka yang benar-benar berkualitas dan di Singapura guru mendapatkan gaji tinggi, tunjangan lengkap dan akses luas terhadap pelatihan professional. Maka, mereka berinvestasi besar dalam kesejahteraan dan pengembangan guru sebagai strategi jangka panjang untuk membangun bangsa.

Di negeri yang menjunjung tinggi pendidikan sebagai pilar kemajuan, nasib guru honorer di Indonesia justru menjadi potret ketimpangan yang menyayat hati bagaimana tidak di ruang-ruang kelas pelosok negeri, ribuan guru honorer mengabdikan diri dengan gaji yang sering kali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tahun 2025, masih banyak guru honorer di Indonesia yang menerima gaji antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar selama satu minggu. Mereka tetap mengajar, bukan karena imbalan, tapi karena panggilan hati.

 

Ironisnya, di saat para pendidik bangsa berjuang dengan honor minim dan tanpa tunjangan, anggota DPR RI justru menikmati tunjangan yang fantastis. Total penerimaan anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan yaitu:

· Gaji Pokok Rp4.200.000

· Tunjangan Melekat

Tunjangan istri/suami     Rp420.000

Tunjangan anak     Rp168.000

Uang sidang/paket Rp2.000.000

Tunjangan jabatan Rp9.700.000

Tunjangan beras/jiwa        Rp30.090

Tunjangan PPh pasal 21 Rp2.699.813

· Tunjangan lain

Tunjangan kehormatan Rp5.580.000

Tunjangan komunikasi Rp15.554.000

Tunjangan peningkatan fungsi Rp3.750.000

Bantuan Listrik dan telepon Rp7.700.000

Asisten anggota Rp2.250.000

· Tunjangan rumah Rp50.000.000

TOTAL Rp104.051.903

 

Jika dibandingkan, gaji guru honorer yang hanya Rp300.000 per bulan bahkan tidak mencapai 1% dari tunjangan rumah DPR. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa total anggaran tunjangan rumah DPR selama lima tahun mencapai Rp1,74 triliun jumlah yang cukup untuk menggaji lebih dari 3.600 guru dengan Rp4 juta per bulan selama setahun.

Pemerintah memang telah menaikkan tunjangan profesi guru honorer bersertifikasi menjadi Rp2 juta per bulan. Namun, ini hanya berlaku bagi mereka yang telah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG), dan jumlahnya masih terbatas. Sementara guru honorer non-sertifikasi hanya menerima insentif Rp300.000–Rp500.000 per bulan. banyak guru di Indonesia justru harus menjalani hidup yang jauh dari sejahtera. Tak sedikit dari mereka yang terpaksa menjadi tukang ojek, berdagang kecil-kecilan, atau mengambil pekerjaan serabutan lainnya demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Indonesia menatap tahun 2045 dengan harapan besar: menjadi negara maju, berdaya saing global, dan sejahtera. Visi Indonesia Emas bukan sekadar mimpi, tapi proyek peradaban yang menuntut pondasi kuat dan pondasi itu adalah pendidikan. Namun, bagaimana kita bisa membangun generasi unggul jika para gurunya masih harus bekerja serabutan sebagai tukang ojek, pedagang kaki lima, atau buruh harian demi mencukupi kebutuhan hidup? Realitas ini bukan hanya menyedihkan, tapi juga mengkhawatirkan. Guru yang lelah secara fisik dan mental karena tekanan ekonomi tentu sulit memberikan pembelajaran yang optimal.

Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem pada angka sekitar $2,15 per hari (setara ±Rp33.000), sementara Indonesia menggunakan standar yang lebih rendah dari itu. Artinya, banyak warga yang secara global tergolong miskin ekstrem, namun secara statistik nasional tidak tercatat sebagai miskin. Ini menciptakan ilusi kemajuan yang tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Di sisi lain, pejabat dan politisi Indonesia menikmati gaji, tunjangan, dan fasilitas yang sangat besar. Bahkan ada usulan untuk menyetarakan atau melebihi standar negara-negara kaya. Ketika rakyat masih bergulat dengan harga beras, akses pendidikan, dan layanan kesehatan, para pengambil kebijakan justru hidup dalam kenyamanan yang nyaris tak tersentuh oleh krisis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan mengakui bahwa rendahnya gaji guru dan dosen adalah tantangan besar bagi keuangan negara. Tapi pengakuan saja tidak cukup. Tanpa reformasi kebijakan yang konkret, ketimpangan ini akan terus berlanjut. Pertanyaannya bukan sekadar soal angka, tapi soal prioritas. Mengapa negara begitu murah hati pada wakil rakyat yang belum tentu menjalankan amanat rakyat nya, namun begitu pelit pada pendidik bangsa? Bukankah guru adalah fondasi utama dalam membentuk generasi masa depan? Bukankah pendidikan seharusnya menjadi investasi, bukan beban anggaran?

Ketika guru honorer harus “mengandalkan Tuhan yang Maha Kaya” untuk bertahan hidup, dan anggota DPR bisa menyewa rumah mewah di Senayan dengan uang negara, kita harus bertanya: apakah ini cerminan negara yang adil? Pendidikan adalah investasi jangka panjang.  Ironi terbesar dalam kinerja DPR adalah ketimpangan antara kompensasi dan produktivitas. Dengan gaji pokok, tunjangan, dan fasilitas yang sangat besar, publik berharap kinerja yang sepadan. Namun kenyataannya, dari 47 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hanya empat yang telah dibahas secara serius. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi menyangkut tanggung jawab konstitusional yang diabaikan.

Lebih memprihatinkan lagi, beberapa UU yang berhasil disahkan justru sering digugat ke Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan lemahnya kualitas pembahasan, minimnya partisipasi publik, dan potensi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip konstitusional. Alih-alih menjadi produk hukum yang kuat dan berpihak pada rakyat, UU tersebut justru menjadi sumber konflik hukum. Proses legislasi yang tertutup dan tidak inklusif memperkuat kesan bahwa DPR bekerja dalam ruang hampa. Aspirasi rakyat jarang menjadi bahan pertimbangan utama, dan konsultasi publik sering kali hanya formalitas.

Jika kita terus menempatkan guru honorer di posisi paling bawah dalam struktur anggaran, maka kita sedang menanam benih ketimpangan yang akan tumbuh menjadi krisis sosial di masa depan. Jika negara ingin maju, maka keadilan anggaran harus dimulai dari menghargai mereka yang membangun pondasi bangsa. Bukan hanya dengan janji, tapi dengan kebijakan nyata. Gaji layak untuk guru honorer bukanlah hadiah, melainkan hak. Dan tunjangan DPR seharusnya mencerminkan kinerja, bukan sekadar jabatan. Sudah saatnya kita menuntut kebijakan yang berpihak pada mereka yang benar-benar membangun bangsa dari akar rumput. Karena tanpa guru, tidak akan ada politisi, menteri, atau presiden.

Next Post Previous Post
1 Comments
  • Anonymous
    Anonymous September 1, 2025 at 9:13 PM

    Sangat membantu

Add Comment
comment url