Perizinan Parkir di RSUD Kota Tangerang: Pelanggaran Terhadap Prosedur Perizinan dalam Tata Kelola Pembangunan

FadIlah Safira Nuraini


Pelanggaran prosedur perizinan dalam tata Kelola pembangunan di lingkungan pemerintah kota Tangerang kembali mencoreng kasus perizinan dalam kota seribu industri tersebut. Laporan pelanggaran tersebut menimbulkan pertanyaan serius terhdap aturan perizinan, tata ruang, dan transparansi administrasi pemerintahan. Pertanyaan ini mengarah pada Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan) Kota Tangerang yang diduga melaksanakan sejumlah proyek strategis tanpa mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagaimana diwajibkan dalam regulasi yang berlaku. Ketika ditanya mengenai kejelasan hal tersebut mereka bungkam.

Adanya sikap bungkam pejabat negara menimbulkan sebuah pertanyaan tekait kasus perizinan parkir tersebut, Apakah pembangunan gedung parkir RSUD Kota Tangerang memenuhi ketentuan perizinan dan persetujuan bangunan gedung sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja dan turunannya? Apakah proyek tersebut diduga melanggar ketentuan tata ruang atau rencana detail tata ruang (RDTR) Kota Tangerang? Dan Bagaimana konsekuensi hukum nya?

Dugaan pelanggaran dalam tata Kelola Pembangunan di Kota Tangerang terkait aktivitas pelaksanaan sejumlah proyek strategis tanpa mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagaimana diwajibkan dalam regulasi yang berlaku, yaitu UU Cipta Kerja dan turrunannya. Minimya transparansi dari pemerintah Kota Tangerang dalam hal ini sekretaris dinas Permiktan semakin mempertebal keraguan publik terhadap pelanggaran serius yang sedang terjadi.

Kasus pelanggaran dalam tata Kelola Pembangunan di kota Tangerang, yang pertama kali menjadi sorotan adalah kasus Pembangunan Gedung Pemuda (PGP) pada tahun 2022 dengan nilai kontrak Rp14.443.218.000. Gedung tersebut diduga telah dibangun tanpa PBG, meskipun merupakan bangunan milik negara yang secara hukum wajib mengantongi dokumen perizinan lengkap. Kemudian, kasus  dengan permasalahan serupa mencuat kembali pada tahun 2025 proyek Pembangunan Gedung Parkir RSUD Kota Tangerang dengan nilai fantastis sebesar Rp25.999.996.100,00, proyek tersebut sama sama tidak mencantumkan informasi PBG dalam pelaksanaan fisiknya.

Lahirnya UU Cipta Kerja, mengganti konsep izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Aturan ini diperjelas dalam PP 16/2021, yang mewajibkan setiap bangunan memiliki PBG dan sertifikat laik fungsi (SLF).

Dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2021, Pasal 1 No. 17. Dijelaskan mengenai pengertian PBG, yaitu izin yang diberikan kepada pemilik bangunan untuk membangun, mengubah, memperluas, mengurangi, atau merawat bangunan sesuai dengan standar teknis yang berlaku. Jika standar tersebut terpenuhi, pemilik bangunan dapat memperoleh PBG. Adapun, SLF sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri PUPR No. 27/PRT/M/2018, pengertian SLF merupakan dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, atau pemerintah pusat untuk bangunan khusus, yang memastikan bahwa bangunan layak digunakan baik secara administratif maupun teknis ditegaskan kembali bahwa setiap bangunan harus dalam kondisi kokoh dan aman digunakan. SLF sangat penting untuk menjamin keamanan bersama dan legalitas bangunan

Singkatnya:

· Tanpa PBG, pembangunan dianggap ilegal.

· Tanpa SLF, bangunan tidak boleh digunakan.

Jika benar pembangunan dimulai sebelum kedua dokumen itu lengkap, maka proyek ini berpotensi melanggar hukum administrasi. Risiko paling berat adalah perintah penghentian proyek atau bahkan pembongkaran jika ditemukan ketidaksesuaian fatal.

Selain dokumen perizinan yaitu PBG dan SLF, proyek bangunan pemerintah harus taat pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Tangerang. RDTR mengatur pemanfaatan tata ruang secara lebih rinci, dengan tujuan untuk menciptakan keseimbangan tata ruang, keberlanjutan pembangunan, dan ketahanan masyarakat. Pelanggaran tata ruang bukan soal sepele. Selain berdampak pada ketertiban kota, pelanggaran ini dapat menggagalkan seluruh izin bangunan, memicu kerugian negara, dan berujung pada sanksi administratif.

Aspek krusial lain dalam kasus ini selain dokumen perizinan dan ketaatan terhadap RDTR Adalah sikap pemerintah dalam menanggapi kasus ini, pemerintah kota Tangerang khususnya dinas Perkimtan bungkam terhadap kasus tersebut, dalam UU Administrasi Pemerintahan UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien guna meningkatkan pemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Publik memiliki hak untuk tahu terkait proses pembangunan yang menggunakan uang mereka.

Penulis mengharapkan agar kasus terkait proyek pembangunan ini tidak menjadi preseden buruk kota Tangerang, maka pemerintah perlu Membuka dokumen perizinan proyek kepada publik untuk melakukan audit teknis dan administratif, Memastikan pembangunan sesuai RDTR dan aturan bangunan Gedung, Mengambil tindakan terhadap pejabat yang sengaja tidak memberikan informasi publik. Dengan adanya tindakan tersebut maka pemerintah dapat memperbaiki citra nya dihadapan publik sekaligus meningkatkan kembali kepercayaan publik serta ketaatan terhadap hukum sebagai contoh budaya taat hukum dalam masyarakat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url