Banjir Sumatera dan Kegagalan Negara dalam Rezim Perizinan Lingkungan

Banjir Sumatera dan Kegagalan Negara dalam Rezim Perizinan Lingkungan
Syifa Fadilah

Banjir dan longsor yang menewaskan 604 jiwa serta menyebabkan 464 orang hilang di Sumatera menurut data BNPB per 1 Desember 2025 bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga penanda kegagalan struktural negara dalam mengelola ruang dan lingkungan. Ketika korban mencapai ratusan dan pemukiman hilang tersapu arus, maka bencana ini bukan sekadar produk cuaca ekstrem, melainkan akumulasi dari keputusan perizinan yang abai terhadap daya dukung ekologis.

Kerangka hukum Indonesia sebenarnya sangat jelas. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mewajibkan negara memastikan setiap pemanfaatan ruang harus mempertimbangkan kawasan rawan bencana, fungsi lindung, serta kewajiban untuk melakukan mitigasi risiko. Namun, implementasi aturan tersebut bertahun-tahun berjalan pincang. Pemerintah daerah, yang seharusnya memegang mandat perlindungan ekologis, banyak menjalankan fungsi ganda sebagai promotor investasi dan pemberi izin. Konflik kepentingan itu menggerus prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan asas kecermatan sebagaimana diwajibkan dalam UU PPLH.

Salah satu distorsi terburuk dalam diskursus publik adalah klaim bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan sawit tidak membahayakan lingkungan karena “sawit juga pohon” dan “pohon menghasilkan oksigen”. Klaim ini bukan hanya keliru secara ekologis, tetapi juga digunakan untuk menjustifikasi pembukaan kawasan hulu DAS secara masif. Sawit memang pohon, tetapi ia bukan bagian dari ekosistem hutan dan tidak memiliki fungsi hidrologis yang setara dengan hutan alam. Hutan alam memiliki struktur vegetasi berlapis, akar dalam yang menjaga kestabilan tanah, serta kapasitas retensi air yang besar. Sebaliknya, perkebunan sawit adalah monokultur yang menghilangkan lapisan-lapisan vegetasi penting, mengurangi kemampuan tanah menyerap air, dan meningkatkan laju limpasan permukaan. Dalam konteks hukum lingkungan, hal ini berarti hilangnya fungsi lindung yang seharusnya dijaga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 22–24 UU PPLH.

Pembukaan lahan sawit dalam skala besar yang difasilitasi oleh perizinan yang permisif telah memakan jumlah kawasan hulu DAS yang tidak kecil. Setiap hektare hutan alam yang berubah menjadi monokultur sawit adalah hilangnya kapasitas ekologis untuk menahan air, melindungi tanah, dan mencegah erosi. Ketika hujan ekstrem datang, limpasan air menjadi berkali-kali lipat dan mengalir deras ke wilayah hilir. Fenomena ini bukan sekadar dugaan; ia berulang di berbagai daerah yang tutupan hutannya berubah cepat akibat ekspansi perkebunan. Namun, secara politis, narasi “sawit juga pohon” menjadi alat untuk meredam kritik dan menormalisasi kebijakan yang sebetulnya bertentangan dengan asas keberlanjutan.

Dalam konteks tata kelola perizinan, negara telah membiarkan pembukaan lahan sawit berjalan tanpa kontrol ketat terhadap analisis dampak lingkungan. Banyak izin lingkungan diterbitkan tanpa kajian hidrologis yang memadai, dan AMDAL dijalankan sebagai formalitas administratif, bukan sebagai instrumen evaluatif. Ketika izin yang berkaitan dengan perubahan tutupan lahan tidak mempertimbangkan risiko hidrometeorologis, maka negara secara langsung melanggar kewajiban hukum untuk menjamin keselamatan ekologis warga, sebuah pelanggaran serius terhadap asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Negara, dalam logika welfare state, tidak boleh hadir hanya ketika bencana sudah terjadi dengan membawa bantuan dan logistik. Negara harus hadir sebelum bencana dengan memastikan setiap izin yang dikeluarkan telah sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam konteks banjir yang terjadi di Sumatera, kelalaian negara dalam mengontrol ekspansi perkebunan dan perubahan tutupan lahan telah berkontribusi langsung pada pembesaran risiko bencana. Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah bencana yang dibentuk oleh kebijakan, sebuah policy-induced disaster yang semestinya dapat dicegah apabila negara menegakkan hukum lingkungan secara konsisten.

Tragedi ini harus menjadi momentum koreksi. Negara perlu melakukan audit menyeluruh terhadap izin-izin perkebunan yang berada di hulu DAS, termasuk meninjau kembali izin yang bertentangan dengan fungsi lindung atau mengancam integritas ekologis. Penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang dan izin lingkungan harus dilakukan tanpa kompromi, termasuk kepada pejabat publik yang terbukti menerbitkan izin secara melawan hukum. Selama negara masih memelihara ilusi hijau bahwa monokultur sawit “setara hutan”, selama itu pula banjir akan terus menjadi agenda tahunan yang merenggut korban.

Banjir Sumatera harus menjadi peringatan bahwa persoalan ini bukan semata fenomena alam, tetapi krisis legitimasi kebijakan. Dan selama perizinan ruang masih diperlakukan sebagai instrumen ekonomi jangka pendek, bukan sebagai perangkat perlindungan ekologis, negara akan terus gagal memenuhi mandat konstitusionalnya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url