Mengapa Banten Selalu Juara dalam Pengangguran? Menelusuri Akar Masalah dan Peluang Solusinya
Tangerangtalk - Ketika provinsi lain sibuk menurunkan tingkat pengangguran, Banten justru konsisten bertengger di posisi atas dalam hal jumlah penganggur terbuka. Sejak tahun 2010 hingga 2024, Provinsi Banten seperti memikul beban berat yang tak kunjung lepas: pengangguran yang terus tinggi. Padahal, Banten bukan provinsi terisolasi. Ia dekat Jakarta, punya kawasan industri besar, dan populasi usia produktif yang melimpah. Namun mengapa justru menjadi salah satu daerah dengan pengangguran tertinggi?
Mari kita bedah akar masalahnya berdasarkan kajian ilmiah mutakhir dan melihat peluang solusi yang sebenarnya sudah mulai terlihat.
Angka-angka yang Mengkhawatirkan
Per Februari 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Banten berada di angka 7,02%. Meski turun dari tahun sebelumnya (7,97%), angka itu tetap tertinggi secara nasional, mengalahkan Kepulauan Riau (6,94%), Jawa Barat (6,91%), dan DKI Jakarta (6,03%).
Apa artinya? Artinya, dari setiap 100 orang angkatan kerja, 7 orang tidak memiliki pekerjaan. Di wilayah dengan potensi kawasan industri seperti Cilegon, Serang, dan Tangerang, hal ini menjadi paradoks.
Apa yang Salah? Menilik Akar Permasalahan
Penelitian yang dilakukan oleh Isep Amas Priatna dan Muhammad Arief (2025) melalui pendekatan Systematic Literature Review (SLR) mencoba menyatukan puluhan penelitian terdahulu tentang pengangguran di Banten.
Hasilnya mengejutkan:
-
Penelitian lebih banyak membahas upah, IPM, tingkat pendidikan, dan jumlah penduduk sebagai faktor pengangguran.
-
Hanya sedikit yang membahas soal ketidaksesuaian keterampilan kerja (skills mismatch), kebijakan ketenagakerjaan, atau peran industri dalam menyerap tenaga kerja.
Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan selama ini terlalu "makro", terlalu "ekonomi", dan tidak menyentuh aspek praktis di lapangan seperti: apakah keterampilan anak muda Banten sesuai dengan kebutuhan industri?
Mismatch Antara Lulusan dan Dunia Kerja
Salah satu penyebab utama pengangguran adalah mismatch—ketika lulusan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan industri. Menurut Wahyudi (2021), lulusan pendidikan tinggi di Banten banyak yang tidak terserap karena tidak relevan dengan kebutuhan industri. Bayangkan lulusan sarjana manajemen yang hanya bisa teori, tapi tidak tahu cara membuat laporan keuangan berbasis Excel. Atau lulusan teknik mesin yang belum pernah mengoperasikan mesin produksi secara langsung.
Hal ini sejalan dengan teori Human Capital dari Acemoglu & Autor (2020), yang menyebut bahwa investasi dalam pendidikan dan pelatihan kerja adalah kunci menurunkan pengangguran.
Mengapa Upaya Pemerintah Belum Efektif?
Pemerintah daerah sebenarnya tidak tinggal diam. Mereka mencoba membangun infrastruktur, mendorong UMKM, dan membuka pelatihan kerja. Namun menurut studi Suryahadi et al. (2020), kebijakan insentif tenaga kerja belum cukup efektif.
Masalahnya ada pada eksekusi: pelatihan tidak berbasis kebutuhan industri, program vokasi tidak tersambung dengan lapangan kerja nyata, dan kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan masih lemah.
Penelitian yang Masih Terlalu Statistik
Mayoritas penelitian yang ditelaah dalam jurnal ini menggunakan pendekatan kuantitatif regresi data panel—pendekatan statistik yang sangat kuat, tetapi minim narasi lapangan. Dari 30 jurnal yang dianalisis, hanya 6 yang memakai pendekatan kualitatif deskriptif.
Padahal, memahami pengangguran tidak cukup hanya dengan melihat grafik. Kita perlu mendengar suara anak muda Banten yang lulus SMK tapi tidak punya alat kerja. Kita perlu wawancara pengusaha yang kesulitan cari tenaga kerja terampil meski pelamar membludak.
Karena itu, jurnal ini merekomendasikan penelitian campuran (mix-method) agar temuan menjadi lebih kaya dan menyentuh kebijakan nyata.
Masih Kurang Sinergi
Fakta lainnya: tidak ada peneliti yang secara konsisten meneliti pengangguran Banten dari tahun ke tahun. Bahkan jurnal dengan sitasi tertinggi hanya berasal dari satu atau dua nama, seperti Mahroji & Nurkhasanah (2019) dan Arifin & Firmansyah (2017).
Ini menunjukkan bahwa fokus pada isu pengangguran masih sporadis, bukan gerakan terstruktur. Padahal jika kita ingin memutus mata rantai pengangguran, dibutuhkan riset yang terus-menerus dan lintas sektor.
Peluang Solusi: Belajar dari Riset dan Daerah Lain
Berdasarkan literatur yang dianalisis, beberapa solusi yang direkomendasikan sangat rasional:
-
Pelatihan Berbasis Industri
-
Melibatkan langsung pelaku industri dalam menyusun kurikulum pelatihan.
-
Seperti yang dilakukan oleh Prasetyo & Handayani (2019), pendekatan ini terbukti efektif menurunkan pengangguran jika dikelola bersama-sama.
-
-
Pendidikan Vokasi yang Lebih Relevan
-
Mengubah SMK dan politeknik menjadi “pabrik kecil” yang membekali siswa dengan pengalaman nyata.
-
-
Insentif bagi Perusahaan yang Melatih
-
Pemerintah bisa memberi potongan pajak atau subsidi kepada perusahaan yang membuka program magang berbayar.
-
-
Kolaborasi Triple Helix
-
Pemerintah, industri, dan universitas bersinergi secara strategis dalam penciptaan SDM (Sumber Daya Manusia) unggul.
-
Kesimpulan: Banten Bisa Bangkit Jika Serius Berubah
Provinsi Banten bukan tidak punya potensi. Ia hanya belum berhasil mengolah potensinya menjadi kekuatan ekonomi berbasis sumber daya manusia. Tingginya tingkat pengangguran harus menjadi peringatan keras bahwa pendekatan lama sudah tidak relevan. Saatnya menggunakan pendekatan baru:
-
Dari makroekonomi ke mikrostrategi.
-
Dari data ke suara lapangan.
-
Dari kebijakan formal ke eksekusi konkret.
Penutup: Mengubah Pola Pikir Kita tentang Pengangguran
Pengangguran bukan hanya angka. Ia adalah wajah-wajah kecewa anak muda yang tidak kunjung mendapat kerja, meski telah lulus sekolah atau kuliah. Ia adalah frustrasi orang tua yang melihat anaknya tidak berkembang. Ia adalah peluang ekonomi yang terbuang.
Jika kita menginginkan masa depan Banten yang lebih baik, maka pengangguran harus dilihat sebagai masalah bersama, bukan hanya masalah statistik. Kita butuh pendekatan yang lebih manusiawi, lebih inovatif, dan lebih kolaboratif.
Mari bersama membangun Banten yang memberi pekerjaan, bukan menambah pengangguran.
Referensi
-
Isep Amas Priatna & Muhammad Arief. (2025). Tren Penelitian Pengangguran di Provinsi Banten antara 2010–2024. Jurnal Disrupsi Bisnis, Vol. 8, No. 2. DOI: 10.32493/drb.v8i2.48517