Kota Tangerang yang Bukan Kota Industri Lagi

Kota Tangerang yang Semakin Tidak "Industri": Mengapa Bisa Terjadi dan Apa Dampaknya bagi Kita?

Bagian 1: Kota Tangerang yang Berubah

Kota Tangerang, yang dulu dijuluki "Kota Seribu Industri", perlahan kehilangan identitasnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan:
🔻 Kontribusi industri terhadap ekonomi Tangerang turun drastis dari 42,9% (2010) menjadi 29,3% (2018).
🔻 Hanya dalam 8 tahun, sektor industri kehilangan 13,6% pangsanya dalam perekonomian kota.

"Ini tanda deindustrialisasi—proses dimana industri tidak lagi menjadi tulang punggung ekonomi," tulis Reza Septian Pradana dalam penelitiannya (2020).

Apa artinya untuk warga?

  • Lapangan kerja di pabrik menyusut.

  • Upah buruh stagnan karena industri kurang kompetitif.

  • Ekonomi bergeser ke sektor jasa (misal: logistik, perdagangan), yang seringkali upahnya lebih rendah.


Bagian 2: 3 Penyebab Utama Deindustrialisasi di Tangerang

1. Investasi yang Salah Sasaran

Penelitian menemukan: Setiap kenaikan investasi 1%, kontribusi industri justru turun 0,44%. Kok bisa?

  • Investasi dominan ke properti (bangunan), bukan mesin atau teknologi industri.

  • Contoh nyata: Tahun 2018, 21,1% investasi di Tangerang untuk bangunan, sedangkan hanya 9,8% untuk mesin industri.

  • Dampak: Pabrik ada, tapi teknologi ketinggalan → produksi tidak efisien → kalah saing.

Solusi:

  • Pemerintah perlu insentif untuk investasi di teknologi industri 4.0 (robotik, IoT).

  • Pelatihan SDM agar bisa operasikan mesin modern.

2. Inflasi yang Menggerogoti Keuntungan Industri

Data BPS: Indeks Harga Konsumen (IHK) Tangerang naik 50,5% (2010–2018).

  • Dampak:

    • Biaya produksi (listrik, bahan baku, upah) melambung.

    • Profit industri menyusut → banyak pabrik tutup atau pindah ke Vietnam/Bangladesh.

  • Titik kritis: Tahun 2014, inflasi mencapai 10,03%, bersamaan dengan penurunan terbesar kontribusi industri (-4,36%).

Solusi:

  • Kontrol harga energi (listrik, gas) untuk industri.

  • Subsidi bahan baku lokal agar tidak tergantung impor.

3. Keterbukaan Ekonomi yang Tidak Dimanfaatkan

Meski dekat dengan Bandara Soekarno-Hatta, kinerja ekspor-impor Tangerang turun 12% (2010–2018).

  • Masalah utama:

    • Banyak industri hanya jadi subkontrak perusahaan asing, bukan pemilik merek.

    • Ketergantungan pada bahan baku impor (contoh: tekstil impor dari China).

  • Ironi: Padahal, penelitian menunjukkan keterbukaan ekonomi bisa tingkatkan kontribusi industri 0,03% tiap kenaikan 1%.

Solusi:

  • Dorong industri lokal naik kelas dari subkontrak ke produsen mandiri.

  • Fasilitasi ekspor dengan kemudahan izin dan akses pembiayaan.


Bagian 3: Dampak bagi Masyarakat dan Pekerja

1. Ancaman PHK Massal

  • Data BPS: Industri besar/sedang Tangerang serap 189.036 pekerja (2016), tapi angka ini terus menurun.

  • Contoh: PT Panasonic Manufacturing Indonesia hentikan produksi di Tangerang (2023), PHK 600 karyawan.

2. Upah Stagnan

  • Sektor jasa (yang menggantikan industri) upahnya 30% lebih rendah (Survei BPS 2020).

  • Buruh pabrik yang beralih ke ojol atau logistik seringkali kehilangan tunjangan kesehatan/THR.

3. Ketimpangan Sosial

  • Kawasan industri seperti Jatiuwung berubah jadi gudang dan perumahan elite, sementara bekas buruh terdesak ke pinggiran.

Kisah Nyata:
"Dulu saya kerja di pabrik sepatu dengan gaji Rp 4,5 juta. Sekarang jadi driver ojol penghasilan Rp 2,8 juta," cerita Andri (38), mantan buruh di Cikupa.


Bagian 4: Bandingkan dengan Negara/Negara Lain

Negara/KotaStrategi Hadapi DeindustrialisasiHasil
JermanFokus pada industri 4.0 (robotik, AI)Kontribusi industri stabil 26% (2023)
VietnamInsentif untuk industri eksporKontribusi industri naik 33% (2023)
TangerangMasih bergantung pada industri konvensionalKontribusi turun ke 29,3%

Pelajaran:

  • Industri perlu berinovasi, bukan sekadar mempertahankan model lama.

  • Kolaborasi pemerintah-swasta kunci atasi deindustrialisasi.


Bagian 5: 5 Langkah Nyata untuk Selamatkan Industri Tangerang

  1. Alihkan investasi ke teknologi (bukan properti):

    • Contoh: Tax holiday untuk pabrik yang adopsi otomasi.

  2. Bangun kawasan industri terpadu:

    • Fasilitas riset, pelatihan SDM, dan akses ekspor dalam satu kawasan.

  3. Hentikan impor bahan baku yang bisa diproduksi lokal:

    • Contoh: Tekstil, komponen elektronik.

  4. Dorong UMKM naik kelas:

    • Pelatihan digital marketing dan manajemen keuangan.

  5. Perkuat kerja sama dengan perguruan tinggi:

    • Link and match kurikulum dengan kebutuhan industri.

Inspirasi dari Jokowi:
"Industri harus jadi lokomotif ekonomi, bukan sekadar penonton."


Kesimpulan: Bisakah Tangerang Kembali Jadi Kota Industri?

Deindustrialisasi di Tangerang bukan akhir, tapi peringatan. Dengan kebijakan tepat—fokus pada teknologi, SDM, dan ekspor—kota ini bisa bangkit. Tantangannya besar, tapi peluangnya terbuka lebar.

Ajakan untuk pembaca:

  • Pekerja: Tingkatkan skill agar tak tergantikan mesin.

  • Pengusaha: Manfaatkan insentif untuk modernisasi.

  • Pemerintah: Jangan biarkan Tangerang jadi "kota fantasi industri".


Referensi:

  1. Pradana, R.S. (2020). Fenomena Deindustrialisasi di Kota Tangerang. Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url