Penduduk Bertambah, Ekonomi Melambat: Sebuah Paradoks dari Kabupaten Tangerang

 

Penduduk Bertambah, Ekonomi Melambat: Sebuah Paradoks dari Kabupaten Tangerang

TangerangtalkDi tengah anggapan umum bahwa pertambahan penduduk adalah berkah ekonomi, Kabupaten Tangerang justru memberikan pelajaran penting: populasi yang meningkat tidak serta-merta mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, bisa sebaliknya—menjadi beban yang memperlambat laju ekonomi daerah.

Sebuah studi menarik dari Deris Desmawan dan tim peneliti dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang dimuat dalam Jurnal Ekonomi Manajemen dan Bisnis (JEKOMBIS) edisi Mei 2023, mengupas tuntas fenomena ini. Dengan mengamati data antara tahun 2019 hingga 2020, mereka menemukan bahwa pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang ternyata berkorelasi negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Sebuah temuan yang mengusik logika ekonomi konvensional.

Mitos Populasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Secara teori, jumlah penduduk yang besar kerap diasosiasikan dengan pasar yang luas dan tenaga kerja melimpah. Negara-negara seperti Tiongkok dan India, misalnya, sering dijadikan contoh sukses bagaimana ledakan demografi bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.

Namun, realitas di lapangan tak selalu berjalan linear. Dalam konteks lokal seperti Kabupaten Tangerang, pertumbuhan penduduk sebesar 5,86% dari tahun 2019 ke 2020—meningkat dari 2,79 juta menjadi 3,05 juta jiwa—tidak diiringi dengan lonjakan ekonomi. Sebaliknya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) justru menurun dari Rp97,1 triliun menjadi Rp93,4 triliun. Ini adalah sinyal yang jelas bahwa jumlah penduduk saja tidak cukup untuk mendorong ekonomi jika tidak dibarengi dengan kebijakan dan kesiapan infrastruktur yang memadai.

Pandemi sebagai Katalis Masalah

Tentu, tahun 2020 adalah tahun yang istimewa dalam sejarah ekonomi dunia. Pandemi COVID-19 merontokkan banyak sendi kehidupan sosial dan ekonomi. Di Tangerang, dampaknya terasa jelas: PHK massal, pendapatan perusahaan anjlok, dan jutaan warga dipaksa tinggal di rumah. Sementara itu, angka pengangguran melonjak dan kemiskinan bertambah.

Namun, dalam perspektif penelitian ini, pandemi bukan satu-satunya penyebab. Justru, pandemi mempercepat dan memperjelas permasalahan struktural yang sudah ada sebelumnya: ketimpangan antara pertumbuhan penduduk dan kesiapan ekonomi daerah untuk menyerap tenaga kerja baru.

Paradoks Demografi: Banyak Tapi Tidak Produktif

Di satu sisi, kita punya banyak penduduk. Tapi di sisi lain, banyak dari mereka belum bisa berkontribusi secara maksimal terhadap perekonomian. Mengapa?

Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan ini:

  1. Minimnya lapangan kerja baru. Pertumbuhan sektor formal tidak secepat pertumbuhan penduduk usia kerja.

  2. Keterbatasan keterampilan. Tanpa pelatihan kerja, peningkatan pendidikan, atau dorongan berwirausaha, tambahan tenaga kerja malah menjadi beban.

  3. Infrastruktur ekonomi yang timpang. Jumlah penduduk bertambah, tapi tidak dibarengi dengan pembangunan fasilitas ekonomi yang cukup seperti pasar, UMKM, akses permodalan, dan pelatihan.

Inilah yang disebut para ekonom sebagai “demographic burden” —beban demografi—yang muncul saat peningkatan penduduk tidak dikelola dengan baik.

Korelasi Negatif: Fakta yang Tak Bisa Diabaikan

Dalam penelitian ini, korelasi antara jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan uji Pearson. Hasilnya cukup mengejutkan: nilai korelasi sebesar -1,00, yang artinya hubungan antar keduanya sangat kuat tapi berbanding terbalik. Semakin banyak penduduk, semakin menurun pertumbuhan ekonomi.

Tentu, hasil ini tidak bisa dijadikan patokan tunggal untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun, bagi daerah-daerah dengan karakteristik serupa—yakni pertumbuhan penduduk tinggi tapi pembangunan ekonomi yang tidak merata—temuan ini menjadi lampu kuning.

Apa Solusinya?

Jika pertambahan penduduk tak bisa dicegah, maka satu-satunya jalan adalah mengubah beban ini menjadi bonus—apa yang disebut sebagai “bonus demografi.” Artinya, kita harus memastikan mayoritas penduduk berada dalam usia produktif, terlatih, sehat, dan bisa bekerja di sektor-sektor bernilai tambah tinggi.

Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:

  1. Investasi pada pendidikan dan pelatihan kerja. Pendidikan vokasi dan kursus keterampilan jangka pendek perlu diperluas agar masyarakat cepat terserap di dunia kerja.

  2. Pemberdayaan UMKM. Populasi besar bisa menjadi pasar potensial bagi UMKM lokal. Tapi pelaku UMKM juga perlu akses ke modal, pelatihan, dan pasar digital.

  3. Reformasi perencanaan wilayah. Pertumbuhan penduduk perlu diikuti dengan penyediaan ruang ekonomi seperti pasar tradisional modern, sentra industri kreatif, atau klaster pertanian.

  4. Pemanfaatan teknologi. Transformasi digital memungkinkan efisiensi dan membuka banyak lapangan kerja baru yang tak bergantung pada sektor konvensional.

Kesimpulan: Populasi Tak Otomatis Jadi Kekuatan

Kabupaten Tangerang telah memberikan kita pelajaran penting: jumlah penduduk yang besar tidak otomatis menjadi kekuatan ekonomi. Justru, jika tak dikelola dengan cermat, ia bisa menjadi penghambat pembangunan.

Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa dengan “bonus demografi”, tapi lupa bahwa bonus hanya akan menjadi nyata bila kita mampu menciptakan sistem ekonomi yang inklusif, adaptif, dan berbasis pada manusia. Tanpa itu, ledakan penduduk hanya akan menghasilkan ledakan pengangguran, kemiskinan, dan krisis sosial.

Mari belajar dari data, bukan hanya asumsi. Karena pada akhirnya, bukan berapa jumlah penduduk kita yang penting—tetapi bagaimana kita memaksimalkan potensi mereka demi kesejahteraan bersama.


Sumber:

Deris Desmawan, Fitrianingsih, Rizka Falah S., Nazwa Aulia Drajat, Nazwa Witasya Diani, & Siti Marlina. (2023). Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Tangerang Tahun 2019–2020. Jurnal Ekonomi Manajemen dan Bisnis (JEKOMBIS), Vol. 2, No. 2, Mei 2023, Halaman 150–157. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. e-ISSN: 2963-7643.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url