Ketimpangan Ekonomi antara Kota Tangerang dan Kabupaten Pandeglang: Potret Ketidakmerataan Pembangunan di Banten
Tangerangtalk - Pembangunan ekonomi idealnya menghasilkan kemajuan yang merata di seluruh wilayah, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Provinsi Banten menjadi salah satu contoh nyata ketimpangan pembangunan antarwilayah, khususnya antara Kota Tangerang dan Kabupaten Pandeglang. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Sabaha dkk. (2024) dalam jurnal Bursa: Jurnal Ekonomi dan Bisnis mengungkapkan jurang besar dalam berbagai indikator pembangunan ekonomi dan manusia di antara kedua daerah ini.
Perbedaan Mendasar dalam Struktur Ekonomi
Kota Tangerang merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan pesat, didukung oleh industri pengolahan, transportasi, dan jasa modern. Kedekatannya dengan DKI Jakarta serta keberadaan Bandara Soekarno-Hatta menjadikan kota ini magnet bagi investasi dan pusat kegiatan ekonomi berskala nasional. Hal ini terlihat dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Kota Tangerang yang mencapai Rp96,89 juta.
Sebaliknya, Kabupaten Pandeglang masih bergantung pada sektor pertanian dan perikanan tradisional. Kontribusi PDRB dari sektor-sektor ini masih dominan, walau mulai muncul geliat industri dan pariwisata, khususnya di kawasan Tanjung Lesung. Namun demikian, PDRB per kapita Pandeglang hanya sebesar Rp11,29 juta, jauh tertinggal dibanding Kota Tangerang.
Indikator Kesejahteraan: IPM dan Gini Ratio
Ketimpangan pembangunan juga tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kota Tangerang mencatatkan IPM sebesar 79,46 pada 2023 dan terus meningkat hingga 81,53 pada 2024. Angka ini menunjukkan keberhasilan kota dalam memberikan akses pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang baik kepada penduduknya.
Di sisi lain, Kabupaten Pandeglang hanya meraih IPM sebesar 66,42, yang meskipun mengalami peningkatan, tetap berada di bawah rata-rata provinsi. Keterbatasan infrastruktur dan akses terhadap layanan dasar masih menjadi tantangan utama di daerah ini.
Menariknya, Gini Ratio—indikator ketimpangan distribusi pendapatan—menunjukkan bahwa Kota Tangerang memiliki ketimpangan sedang (0,343), sementara Pandeglang tergolong rendah (0,243). Ini mengindikasikan bahwa meskipun Tangerang lebih makmur, distribusi kekayaan di dalamnya belum merata. Sebaliknya, Pandeglang memiliki distribusi yang lebih merata, namun dalam kemiskinan.
Ketimpangan Struktural dan Geografis
Indeks Williamson yang digunakan untuk mengukur ketimpangan antarwilayah menunjukkan angka 0,791 untuk Provinsi Banten pada 2020, jauh di atas ambang batas 0,5. Angka ini menempatkan Banten sebagai provinsi dengan ketimpangan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Jawa Timur (Sabaha et al., 2024).
Faktor-faktor yang memperkuat ketimpangan ini antara lain:
-
Geografi dan konektivitas: Tangerang lebih terhubung dengan pusat ekonomi nasional, sementara Pandeglang mengalami isolasi infrastruktur.
-
Kapasitas fiskal: Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Tangerang jauh lebih besar, memberi ruang untuk belanja pembangunan yang lebih luas.
-
Sumber daya manusia: Tangerang memiliki TPAK dan IPM lebih tinggi, mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih dinamis.
-
Kebijakan pembangunan: Fokus pembangunan cenderung lebih berat ke wilayah utara Banten yang lebih maju.
Dampak Sosial Ketimpangan
Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga kualitas hidup dan stabilitas sosial. Ketimpangan memicu urbanisasi dari wilayah tertinggal ke kota-kota maju seperti Tangerang, menciptakan tekanan penduduk di satu sisi dan kekosongan SDM di sisi lain. Ketidakadilan akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga memperlebar jurang kemiskinan dan ketidaksetaraan antar generasi.
Rekomendasi Strategi Pembangunan
Untuk mengatasi ketimpangan ini, Sabaha dkk. (2024) merekomendasikan beberapa strategi kunci:
-
Penguatan infrastruktur konektivitas di wilayah selatan Banten.
-
Peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan kerja.
-
Pengembangan berbasis potensi lokal, seperti agroindustri dan pariwisata di Pandeglang.
-
Reformulasi kebijakan pembangunan agar lebih inklusif dan merata antarwilayah.
-
Kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam mengembangkan kawasan tertinggal.
-
Pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan partisipatif dan berbasis komunitas.
Penutup
Studi ini menjadi pengingat bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, tetapi harus diarahkan pada pemerataan hasil pembangunan. Provinsi Banten membutuhkan kebijakan yang lebih adil dan berorientasi pada pemberdayaan daerah tertinggal, agar semua wilayah dapat berkembang dan memberi kesejahteraan yang merata bagi seluruh warganya.
Sumber:
Ahmad Sabaha, Kalista Fauzia Hanum, Anida Mumtaz, Laila Amilia, Gus Rajan, M. Farid Fadhilah, Adellia Futri, Lilah Habibah, Deris Desmawan. (2024). Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Studi Kasus Kota Tangerang dan Kabupaten Pandeglang. Bursa: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 3(3). https://jurnal.risetilmiah.ac.id/index.php/jeb:contentReference[oaicite:0]{index=0}.