Ketiadaan Fungsi Polisi Dalam Penegakan Hukum dan Penerapan Pancasila
Arya Jons Simanjuntak_Permahi Untirta
Tangerangtalk - Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang dimaksud kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurüt Sadjijono istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara, sedangkan istilah Kepolisian adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintahan yang terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang- undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat.
Fungsi kepolisian diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia yang berbunyi “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan dalam masyarakat”. Fungsi kepolisian terdiri dari 2 dimensi yakni dimensi yuridis dan dimensi sosiologis. Dalam dimensi yuridis fungsi kepolisian terdiri dari atas fungsi kepolisian umum dan fungsi kepolisian khusus. Fungsi kepolisian umum berkaitan dengan kewenangan kepolisian berdasarkan undang-undang dan atau peraturan perundang-undangan yang meliputi semua lingkungan kuasa hukum yaitu: (1) lingkungan kuasa soal-soal yang termasuk kompetensi hukum publik; (2) lingkungan kuasa orang; (3) lingkungan kuasa tempat sedangkan Fungsi kepolisian khusus, berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang oleh atau kuasa undang-undang secara khusus ditentukan untuk satu lingkungan kuasa. Fungsi kepolisian dari dimensi sosiologis, terdiri atas pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dalam praktek kehidupan masyarakat dirasakan perlu dan ada manfaatnya, guna mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungannya, sehingga dari waktu ke waktu dilaksanakan atas dasar kesadaran dan kemauan masyarakat sendiri secara swakarsa serta kemudian melembaga dalam tata kehidupan masyarakat.
Disini penulis mengangkat isu-isu tentang instansi kepolisian, dikarenakan instansi kepolisian sudah tidak sejalan dengan adanya pancasila, Hak Asasi Manusia, slogan kepolisian, fungsi kepolisian, dan melanggar Asas Akusator (accusatoir) . Contohnya saja pada kasus Kematian bocah 13 tahun yang bernama Afif Maulana (AM) yang tewas akibat diduga dianiaya polisi (Masih diduga dikarenakan kepolisian berpendapat AM melompat ke sungai dengan ketinggian 12 M tetapi kesaksian kepolisian terburu-buru dan CCTV di polsek tidak bisa diakses), Kasus Vina Cirebon yang tidak kunjung selesai dan penyelidikan terhadap kasusnya masih semrawutan. Selain itu menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 641 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian dalam satu tahun terakhir. Catatan itu tertuang dalam Laporan Hari Bhayangkara KontraS 2024 yang diluncurkan bertepatan pada ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang ke-78 pada hari ini, 1 Juli 2024. Selain itu juga menurut data yang dihimpun oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada juni 2023 sampai Mei 2024 telah mencatat ada 60 peristiwa/kasus penyiksaan yang melibatkan kepolisian dan 90 korban.
Mengacu pada kasus bocah AM di padang tersebut sudah melanggar dari adanya sila kedua yang isinya Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta juga pihak kepolisian diduga melakukan upaya Obstruction Of Justice dalam penyelesaian kasusnya. Obstruction of justice sendiri adalah tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, mempengaruhi, menghalangi, atau berusaha untuk menghalangi administrasi peradilan, atau proses hukum yang semestinya. Dikarenakan melemahkan pembuktian agar tidak terjerat dalam suatu putusan dan pola ini juga sering ditemui pada kasus-kasus pelanggaran HAM berupa penyiksaan. Dugaan kuat pada kasus tersebut yang mengarah pada Obstruction of justice yaitu : 1. Tidak adanya garis polisi /police line di tempat kejadian perkara, 2. Dilakukan tindakan tambahan berupa perubahan lingkungan yang dimana terjadi pengerukan sungai dari 30 cm menjadi 1.07 meter, 3.Merubah pernyataan dengan mengatakan bekas di tubuh korban adalah lebam mayat lalu mengatakan kemungkinan trauma karena terjatuh dari motor dan terpeleset. Pernyatan yang berubah-berubah ini seolah-olah disengaja. Padahal apa yang dialami AM adalah trauma akibat kekerasan, 4.Dokter forensik tidak memberikan berita acara autopsi kepada pihak keluarga, 5.Penyidik perkara tidak membuka laporan dan pemberian salinan autopsi kepada pihak keluarga. Serta juga pihak kepolisian melanggar asas praduga tak bersalah/presumption of innocence yang artinya bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai adanya bukti yang meyakinkan dan kuat yang menunjukkan kesalahannya ( diatur dalam pasal 66 KUHAP serta Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang sistem penegakan hukum nasional yang menyebutkan asas praduga tak bersalah sebagai salah satu prinsip dasar sistem penegakan hukum nasional).
Mengacu pada data komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS) tentang korban kekerasan yang melibatkan kepolisian dan 60 peristiwa penyiksaan yang mengakibatkan 90 korban sudah sangat-sangat melanggar dari adanya sila ke -dua dari pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ke-empat yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan sila kelima yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dikarenakan seharusnya para polisi dalam mendapatkan informasi dari peristiwa tindak pidana kepada terduga/terdakwa tidak menggunakan metode kekerasan dan berpedoman pada asas akusator , artinya adalah asas ini menempatkan kedudukan terduga, pelaku, terdakwa sebagai subjek bukan objek dari pemeriksaan. Pemeriksaan menggunakan penyiksaan sama saja halnya kita merenggut hak asasi manusia mereka dikarenakan Ada beberapa hak tersangka selama penyidikan berlangsung sudah dilanggar dan sudah tercantum dalam Statuta Roma mengenai International Criminal Court ( ICC ) yang relevan bagi pengadilan HAM, yaitu:
1.Tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan, paksaan atau ancaman, siksaan atau terhadap setiap bentuk perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya;
2.Tidak boleh ada penangkapan atau penahanan sewenang-wenang, dan tidak boleh tersangka kehilangan kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan acara yang ditentukan. Dalam Statua ini.
Indonesia juga telah meratifikasi dan mengadopsi Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/ CAT dalam UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Tujuan konvensi ini adalah menentang segala bentuk “Penyiksaan’ baik yang dilakukan dengan sengaja atau tidak. UU ini juga meminta kepada negara pihak untuk mengambil langkah-langkah legislative, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya. Serta harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya dengan penahanan, interogasi, atau perlakuan terhadap, setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara. Dalam hal ini pejabat penyidik yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum, hukum pidana yang berada dalam ranah hukum publik. Upaya paksa seperti penggeledahan, penangkapan, dan penahanan tetap, harus memperhatikan hak-hak seorang yang digeledah, ditangkap, dan ditahan. Pada pasal 7 konvensi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik(Covenant on Civil and Political Rights) ini mengamanatkan bahwa, “Tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan Pasal 14 yang memberikan jaminan fair-trial, termasuk perlakuan yang sama di hadapan hukum dan bebas dari paksaan untuk mengaku salah.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam cara untuk menyelesaikan agar penyiksaan terhadap tersangka, pelaku dalam proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat tidak terulang? Caranya yaitu dengan pengawasan eksternal dan akuntabilitas polisi harus diperkuat. Secara sistematis dan struktural, pencegahan penyiksaan ini harus disosialisasikan kepada polisi, termasuk saat mereka naik pangkat. Pencegahan ini butuh sensitivitas, pengetahuan, dan harus terus-menerus diingatkan kepada aparat agar tidak melanggar norma-norma hukum. Namun menurut Era Purnamasari, pengacara publik di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, ratifikasi itu tidak cukup. Solusi kunci persoalan ini adalah memasukkan konsep habeas corpus ke dalam KUHAP. Artinya, kata dia, ada lembaga lain di luar Polri yang dapat menilai sah tidaknya penahanan. Tahap penahanan selama ini disebutnya menjadi momen terjadinya berbagai tindak kekerasan oleh polisi. Selain itu Merujuk pada buah pikir Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat. Namun, di samping menjadi sekumpulan aturan yang harus ditaati, hukum sejatinya memiliki peran hakiki dalam merubah nilai-nilai sosial masyarakat sesuai dengan fungsinya sebagai alat pembaharuan masyarakat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni "law as a tool of social engineering" . Dalam mencapai pembaharuan pranata masyarakat, maka hukum tidak dapat bekerja secara statis. Dengan kata lain, hukum penting untuk ditransformasi agar dapat berdinamika dengan perkembangan zaman dan kepentingan masyarakat. Hal ini linear dengan pendekatan Hukum Progresif oleh Satjipto Rahardjo yang menempatkan manusia sebagai primus dalam penyusunan dan pemberlakuan hukum sehingga hukum perlu ditinjau secara berkala agar tetap berlaku efektif dan relevan dalam mengakomodasi kepentingan manusia. Oleh karena itu, diperlukan suatu transformasi hukum yang dapat menyelaraskan nilai dan budaya dalam masyarakat dengan cita-cita pembangunan nasional. Transformasi hukum dapat dipahami sebagai perubahan kaidah berlandaskan sistem hukum yang mengatur kehidupan masyarakat sehingga dapat turut mengharmonisasikan tujuan kesejahteraan umum. Lawrence Meir Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum terdiri atas substansi (legal substance), struktur (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Friedman memandang bahwa dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen esensial dalam proses menghasilkan perubahan hukum yang bermanfaat. la menambahkan bahwa ketika budaya hukum berubah, masyarakat akan lebih terbuka terhadap perubahan yang terjadi di dalam lembaga hukum dan hukum itu sendiri sehingga hukum dapat dengan mudah diinternalisasi dan diimplementasikan. Perubahan budaya hukum ini memposisikan kesesuaian transformasi hukum dalam menciptakan pembaharuan pranata masyarakat guna mendukung pembangunan di Indonesia. Yang artinya buat menangkal permasalahan diatas harus dibutuhkan sebuah terobosan/ide yang baru agar budaya hukum yang lama dapat digantikan dengan budaya hukum yang baru dengan syarat budaya hukum yang baru harus mempertimbangkan segala aspek yang ada menurut perkembangan zaman.