Impor Gula dan Hukum yang Terlalu Manis untuk Dicerna Logika
![]() |
Oleh: Syifa Fadilah/Permahi Untirta |
Putusan terhadap Thomas Trikasih Lembong adalah salah satu ironi paling mencolok dalam sejarah hukum Indonesia belakangan ini. Mantan Menteri Perdagangan itu dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp750 juta, karena memberikan izin impor gula kristal mentah kepada delapan perusahaan pada tahun 2015. Namun, fakta terpenting dalam sidang ini justru menjadi alasan terbesar untuk mempertanyakan keabsahan vonisnya: majelis hakim menyatakan bahwa tidak ditemukan mens rea—tidak ada niat jahat.
Padahal, dalam hukum pidana modern, mens rea adalah fondasi. Tanpa niat jahat, seseorang tidak bisa begitu saja dianggap bersalah. Tapi dalam kasus ini, Lembong tetap divonis. Ia dianggap “melampaui kewenangan” dan menyebabkan “kerugian negara” sebesar Rp578 miliar yang ironisnya dihitung dari selisih harga pasar dan bea masuk yang tidak ditarik, bukan kerugian aktual.
Negara tidak kehilangan uang, tidak ada suap, tidak ada keuntungan pribadi, dan tidak ada motif jahat. Tapi vonis tetap dijatuhkan. Seolah-olah kesalahan Lembong adalah karena ia terlalu cepat bertindak, terlalu rasional, dan terlalu berani mengambil keputusan kebijakan tanpa menunggu birokrasi yang gemar tidur siang.
Putusan ini menuai penolakan luas. Pakar hukum tata negara, ekonom, pelaku industri, bahkan masyarakat sipil mempertanyakan logika hukum yang digunakan. Banyak yang menyebut ini sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan, sebuah praktik berbahaya yang menciptakan iklim ketakutan bagi pejabat publik. Jika niat baik dan kebijakan rasional bisa berujung jeruji besi, maka jangan heran jika kelak tak ada pejabat yang mau bertindak tanpa restu politik. Kita akan disuguhi birokrasi yang pasif, pengecut, dan hanya tunduk pada prosedur, bukan pada kebutuhan rakyat.
Thomas Lembong bukan tokoh biasa. Ia teknokrat kelas dunia, lulusan Harvard, eks bankir investasi, dan dikenal bersih selama menjabat. Ia mengambil langkah impor saat industri makanan dan minuman terancam krisis bahan baku. Tidak ada gejolak pasar, tidak ada kerusuhan, tidak ada kecurangan. Tapi beberapa tahun kemudian, ia dipanggil ke pengadilan. Bukan karena mencuri uang negara, melainkan karena mencoba menyelamatkannya dari stagnasi.
Jika putusan ini dibiarkan berdiri tanpa kritik, maka kita sedang menyaksikan kematian hukum rasional. Ketika mens rea bukan lagi syarat mutlak pemidanaan, ketika kebijakan dijadikan dalih kriminalisasi, maka siapa pun bisa dipenjara karena berpikir. Dan ketika berpikir menjadi kejahatan, maka bangsa ini tak lagi dipimpin oleh hukum, melainkan oleh ketakutan.
Fiat justitia ruat caelum, tegakkan keadilan sekalipun langit akan runtuh.