Ketika Gas Air Mata Menyelinap ke Kampus: Apa Kabar Ruang Aman Mahasiswa?
![]() |
Muhammad Resta Jaelani_1111220377 |
Awal September 2025, Bandung dikejutkan oleh kericuhan di sekitar Universitas Pasundan (Unpas) dan Universitas Islam Bandung (Unisba). Aparat kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa di kawasan Tamansari. Akan tetapi, sebagian gas itu ikut masuk ke area kampus karena faktor arah angin dan lokasi yang berdekatan. Mahasiswa yang tidak terlibat langsung dalam kericuhan ikut terkena dampak. Pertanyaannya: apakah tindakan ini masih bisa dibenarkan secara hukum, atau justru mencederai prinsip ruang aman akademik?
Konstitusi melalui Pasal 28E UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. UU No. 9 Tahun 1998 memperjelas tata cara penyampaian pendapat di muka umum, menegaskan bahwa negara wajib melindungi demonstran selama dilakukan secara damai. Sementara itu, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian memberi kewenangan aparat untuk menjaga keamanan, termasuk menggunakan gas air mata dalam kondisi tertentu. Aturannya jelas: tindakan harus sah secara hukum, diperlukan (nesesitas), proporsional, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam kasus Unpas dan Unisba, aparat berdalih bahwa kericuhan dipicu oleh pelemparan batu dan Molotov. Gas air mata ditembakkan ke arah kerumunan untuk meredam situasi. Namun, karena arah angin dan kedekatan lokasi, gas tersebut justru menyebar ke dalam kampus. Akibatnya, mahasiswa yang sedang berada di lingkungan akademik terkena dampaknya: sesak napas, panik, bahkan beberapa fasilitas kampus mengalami kerusakan. Di sisi lain, pihak kampus menegaskan bahwa mayoritas mahasiswa sudah membubarkan diri setelah aksi damai di DPRD Jawa Barat. Artinya, korban gas air mata bukanlah pelaku kericuhan, melainkan mahasiswa yang seharusnya dilindungi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah aparat sudah benar-benar mengedepankan prinsip proporsionalitas?
Kasus ini menyingkap masalah klasik pengendalian massa di Indonesia: pendekatan represif masih lebih menonjol daripada pendekatan dialogis. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang intelektual dan aman, berubah menjadi arena konflik. Ketika aparat menggunakan cara-cara keras di sekitar kampus, kepercayaan publik pada institusi keamanan ikut terkikis. Selain itu, adanya dugaan keterlibatan aktor luar dalam kericuhan memang menunjukkan kompleksitas persoalan. Akan tetapi, keberadaan pihak luar tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan mahasiswa yang tidak bersalah menjadi korban.
Gas air mata yang menyelinap ke kampus bukan sekadar kabut yang memedihkan mata dan paru-paru mahasiswa. Ia adalah simbol bahwa negara masih kesulitan menjaga keseimbangan antara keamanan publik dan perlindungan hak warga. Ke depan, aparat perlu membangun protokol khusus saat berhadapan dengan demonstrasi di sekitar area kampus. Dialog, bukan gas, seharusnya menjadi pilihan pertama. Kampus adalah ruang belajar, bukan tempat perang urat saraf antara mahasiswa dan aparat.
Jika peristiwa ini terus berulang, kita berisiko kehilangan bukan hanya kenyamanan kampus, tetapi juga semangat demokrasi di kalangan generasi muda. Gas air mata mungkin bisa membubarkan kerumunan, tetapi ia juga bisa meninggalkan luka kepercayaan yang jauh lebih lama bertahan