KEWENANGAN DAN BATASAN PRAPERADILAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Oleh, Yatatema Gea, S.H.
(Akademisi Script Law Indonesia)
Tangerangtalk - Praperadilan adalah bagian penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Fungsi utama dari praperadilan adalah untuk menguji keabsahan tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penegak hukum sebelum perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Memastikan bahwa setiap tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut Nikolas Simanjuntak, praperadilan adalah proses acara peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan menghukum jika salah dan membebaskan jika tidak salah. Secara tidak langsung, Praperadilan melakukan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkuatan dengan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penyidik dalam hal penghentian penyidikan dan penuntutan.
Dalam praktek sering ditemui pelanggaran-pelanggaran dalam peradilan pidana. Pelanggaran-pelanggaran yang sering ditemui salah satunya adalah mengenai penangkapan dan penahanan yang tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan penahanan sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui praperadilan, individu memiliki mekanisme untuk mencari keadilan dan perlindungan terhadap hak-haknya. Meskipun menghadapi beberapa tantangan, keberadaan praperadilan tetap penting dalam menciptakan sistem peradilan yang adil dan transparan di Indonesia.
1. Dasar Hukum Praperadilan
Praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP, Pasal 77 KUHAP Jo. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang mengenai:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan, dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Sebenarnya upaya pra-peradilan tidak hanya sebatas itu, karena secara hukum ketentuan yang mengatur tentang pra-pradilan tidak hanya menyangkut pada pasal 77 KUHAP, tetapi termasuk ganti kerugian akibat adanya “tindakan lain” yang di dalam penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP ditegaskan kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, artinya upaya pra-pradilan dapat juga dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Bisa merujuk pada Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982, atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
Sehingga Pra-peradilan lengkapnya diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 KUHAP.
2. Fungsi dan Tujuan Praperadilan
Praperadilan boleh dikatakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan wewenang, oleh sebab itu dalam pelaksanaannya praperadilan memiliki beberapa fungsi dan tujuan penting dalam sistem peradilan pidana, antara lain:
1. Melindungi Hak Asasi Manusia
Praperadilan bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, khususnya hak-hak tersangka atau terdakwa, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
2. Kontrol terhadap Penegak Hukum
Praperadilan berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap tindakan penegak hukum, memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak melanggar hak-hak individu.
3. Menciptakan Keadilan
Melalui praperadilan, individu dapat mencari keadilan jika merasa dirugikan oleh tindakan penegak hukum yang tidak sah atau tidak sesuai prosedur.
3. Proses Praperadilan
Proses praperadilan diajukan oleh tersangka, terdakwa, keluarga, atau kuasa hukumnya dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri yang berwenang dengan tahapan yaitu :
1. Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis kepada pengadilan negeri dengan menyebutkan alasan dan bukti yang mendukung. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
2. Pemeriksaan oleh Hakim
Hakim akan memeriksa permohonan tersebut, termasuk mendengarkan keterangan dari pemohon dan aparat penegak hukum yang terkait. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya
3. Putusan Hakim
Berdasarkan pemeriksaan, hakim akan memutuskan apakah tindakan penangkapan, penahanan, atau penghentian penyidikan/penuntutan tersebut sah atau tidak sah. Putusan hakim praperadilan bersifat final dan mengikat. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Mengenai permohonan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP, diajukan oleh Penuntut Umum dan Pihak ketiga yang berkepentingan, Mengenai sah atau tidaknya penghentian penuntutan diajukan oleh Penyidik dan atau Pihak ketiga yang berkepentingan, sementara permintaan ganti rugi dan/atau rehabilitasi, pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 81 KUHAP adalah tersangka, terdakwa dan pihak ketiga yang berkepentingan.
4. Batasan Praperadilan
Luhut M.P. Pangaribuan, bahwa dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga praperadilan. Jadi, lembaga pra peradilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara. Batasan praperadilan dalam sistem hukum Indonesia terdiri dari beberapa hal:
1. Wewenang Hakim adalah dipimpin oleh hakim tunggal yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan.
2. Ketentuan Pasal 78 KUHAP bahwa hanya dapat dilakukan jika terdapat dakwaan terkait dengan tindak pidana yang telah terjadi. Dakwaan tersebut harus dilakukan oleh penyidik dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHAP.
3. Ketentuan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan dan pengawasan yang efektif. Hal ini berarti bahwa praperadilan harus dilakukan secara adil dan transparan.
4. Putusan Mahkamah Agung yang mengatur praperadilan juga memiliki implikasi yuridis yang memperluas mekanisme pengujian praperadilan. Hal ini berarti bahwa praperadilan harus dilakukan secara lebih komprehensif dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam putusan tersebut.
Ada beberapa kriteria yang harus digunakan hakim praperadilan dalam menentukan sah atau tidak sahnya penahanan:
1. Apakah penahanan didasarkan pada tujuan yang telah ditentukan KUHAP ? Pasal 20 KUHAP, menentukan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan “untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan”.
2. Apakah penahanan memiliki dasar (hukum) dalam undang-undang yang berlaku, terutama dasar hukum kewenangan pejabat yang melakukan penahanan tersebut ? Selain itu, sesuai dengan teori tentang kewenangan dan ketentuan Pasal 3 KUHAP, yang mengharuskan pengaturan acara pidana hanya berdasar pada undang-undang, maka kewenangan melakukan penahanan hanya dapat timbul sepanjang telah diberikan oleh undang-undang.
3. Apakah terdapat alasan melakukan penahanan, baik alasan subyektif (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) maupun alasan obyektif (Pasal 21 ayat (4) KUHAP)? Alasan subyektif melakukan penahanan adalah dalam hal adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. Hanya saja, seperti istilahnya (alasan subyektif), dalam praktek hukum umumnya alasan ini dipandang ada tanpa ukuran-ukuran yang objektif. Dengan demikian, tanpa kriteria objektif dalam menentukan alasan subyektif penahanan maka telah mengubah prinsip penahanan menjadi: “arrested is principle, and non arrested is exception.” Alasan subyektif penahanan menjadi konkretisasi “discretionary power” yang terkadang sewenang-wenang, yang bukan tidak mungkin dijadikan modus pemerasan oleh oknum tertentu.
4. Apakah penahanan dilakukan menurut prosedur atau tata cara yang ditentukan dalam KUHAP? Dalam hal ini, surat perintah dari penyidik menjadi mutlak. Dalam surat perintah tersebut, harus disebutkan identitas tersangka, alasan dilakukannya penahanan,uraian singkat tentang sangkaan tindak pidananya, dan tempat dilakukannya penahanan (Rutan). Selain itu, surat perintah penahanan juga harus memuat jangka waktu dilakukannya penahanan tersebut, yang masih dalam batas limitatif yang ditentukan undang-undang. Turunan surat perintah ini diserahkan kepada keluarga pesakitan. Sebagai kelengkapannya adalah surat perintah/tugas melakukan penahanan dan Berita Acara penahanan.
Referensi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Ridwan Eko Prasetyo, Hukum Acara Pidana, hal. 77, mengutip Nikolas Simajuntak (2012), hal. 192
Luhut M.P. Pangaribuan, Pembaharuan Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm. 34