MAY DAY: MERAJUT SOLIDARITAS MELAWAN KETIDAKADILAN
![]() |
Sinta Eka Marlina |
"Para buruh di seluruh dunia, bersatulah!"
-Karl Marx
Peringatan Hari Buruh Internasional atau may day yang dideklarasikan pada 01 Mei 1886 adalah hasil konsolidasi dari beragam serikat buruh dan kelompok kiri berhaluan sosialis, anarkis, dan marxis di Chicago, Amerika Serikat kemudian menyebar ke seluruh dunia (Crain, 2006). Meskipun memiliki perbedaan secara idiologis, gerakan buruh diseluruh dunia memiliki kesamaan mendasar, yakni penolakan terhadap eksploitasi tenaga kerjaa yang tidak manusiawi oleh sistem kapitalis. Gerakan ini memiliki tuntutan yang beragam mulai dari upah layak, jam kerja, hak berserikat, hingga seruan kepemilikan mesin produksi secara kolektif.
Di Indonesia sendiri, gerakan buruh umumnya menuntut soal perlindungan kerja, peningkatan upah minimum, jaminan sosial, dan penghapusan sistem outsourcing. Pada prinsipnya, gerakan buruh berangkat dari semangat penolakan terhadap eksploitasi manusia dan berorientasi pada terciptanya keadilan yang merata. Namun demikian, Narasi perjuangan buruh yang tampaknya inklusif dalam tuntutan keadilan sering kali masih menyisakan celah dalam memperjuangkan keadilan berbasis gender, dan masih menjadi masalah yang belum selesai hingga hari ini. Penyebab utamanya adalah persoalan struktural yakni sistem patriarki, Sistem ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan mengharuskan perempuan memikul beban ganda, sebagai pekerja informal dan pekerja domestik. Paradigma patriarki yang memandang pekerjaan domestik sebagai urusan remeh-temeh dan tidak layak diperhitungkan dalam dunia kerja, menyebabkan perempuan memikul tanggung jawab pekerjaan domestik yang tidak manusiawi. Parahnya lagi semua itu dilakukan tanpa upah, tanpa pengakuan, dan sering kali dianggap sebagai "kewajiban alami perempuan" Hal ini membuat ibu rumah tangga rentan mengalami kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berbasis ekonomi. Sedangkan untuk pekerja rumah tangga (PRT) permasalahanya bukan hanya upah yang tidak layak tetapi juga ancaman kekerasan seksual dan diskriminasi. Pemaksaan tersistematis terhadap pekerja perempuan dengan memanfaatkan ketidakberdayaan adalah bentuk eksploitasi buruh yang paling parah.
Sebagai gerakan yang mengorganisir perjuangan pekerja agar terhindar dari eksploitasi dan ketidakadilan, gerakan buruh tidak dapat dipisahkan dari perjuangan emansipasi perempuan, mengingat perempuan adalah kelompok yang masif megalami eksploitasi dalam dunia kerja akibat ketimpangan gender dan ketidakjelasan aturan. Misalnya, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga hari ini belum disahkan, merupakan bukti nyata dari kegagalan negara dan masyarakat dalam mengakui kerja domestik sebagai kerja profesional. Akibatnya, banyak pekerja rumah tangga, yang mayoritas perempuan, masih berada dalam sistem kerja yang rentan, tidak layak, dan tidak manusiawi.
Kabar baiknya adalah, Isu ini mulai mendapat perhatian dalam agenda formal gerakan buruh di Indonesia, meskipun sering kali tidak cukup populer dikalangan buruh secarah masif. Mengutip laman KOMPAS.com, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan bahwa para buruh akan menyuarakan enam isu saat acara Hari Buruh Internasional pada Kamis 01 mei 2025 di Monas. Enam isu tersebut antara lain: penghapusan outsourcing,
tuntutan upah layak, pembentukan Satgas PHK (pemutusan hubungan kerja), serta mendesak pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Perampasan Aset. Memasukan isu pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sebagai poin dalam tuntutan buruh adalah langkah yang sangat baik dan sejalan dengan manifesto gerakan buruh, yakni penolakan terhadap eksploitasi manusia.
Maka dari itu, memperingati hari buruh seharusnya tidak sebatas seremonial semata, tetapi juga harus menghidupkan kembali cita-cita yang sebenarnya yakni melawan penindasan dan eksploitasi. Dengan cara mengorganisir sebanyak- banyaknya kelompok buruh dan memperluas solidaritas lintas gender. Dalam dunia kerja yang masih timpang, terutama bagi perempuan dan pekerja domestik, perjuangan belum usai.
Merajut solidaritas artinya menyatukan suara bahwa, hak untuk mendapatkan upah yang layak, kesempatan yang setara, perlindungan keamanan kerja, serta jaminan sosial harus diberikan kepada semua pekerja, tanpa terkecuali. Keadilan kerja harus mencakup semua orang, dari buruh kantoran, buruh pabrik, PRT, hingga ibu rumah tangga. Sebab melalui perjuangan yang inklusif, keadilan bisa di upayakan dalam dunia kerja yang lebih manusiawi.